Dua koma tiga
enam, Anda berada di titik koordinat yang berbahaya. Hati-Hati. Klik!
Ini kisahku
teman, tentang sebuah kegagalan yang menampar. Perihnya tak hanya di pipi namun
terasa ke hati. Andai dulu aku tak menghambur-hamburkan waktu, andai dulu aku
tak bermalas-malasan, andai dulu aku tak menunda-nunda. Mungkin …mungkin…ah!
Persetan dengan andai!
Pagi itu
terasa berat bagiku, jika aku boleh meminta tak usahlah ada pagi. Biar malam saja,
agar aku tak terbangun dari mimpi-mimpiku. Agar aku tak melukai hati orang yang
aku cintai di dunia, bapak.
Betapa berat
perjuangan beliau untuk mengantarkanku pada gerbang kesuksesan. Pada gerbang
impian yang selalu ku ketuk, sebuah mimpi yang tak murah untuk mewujudkannya.
Lalu bagaimana jika pagi-pagi ini semua harapan itu kandas, gerbang pun ambruk
oleh keroposnya semangat dan lemahnya kerja keras. Sungguh betapa durhakanya
aku pagi itu.
“Kapan kau akan ke warnet Nur? Bapak ingin
melihat nilaimu semester ini. Sudah lama bapak tidak melihatnya, mudah-mudahan
nilai semester limamu lebih baik.”
Duh, kata-kata
itu membuat pagiku semakin terasa berat. Entahlah aku seperti bisa merasakan
hal buruk akan menimpaku.
Berat
kulangkahkan kaki menuju warnet. Bismillahi tawakkaltu…
“Nur?”
baru saja aku hendak keluar, Bapak memanggilku lagi.
“Bapak ikut ya?”
Aku terhenyak. Ingin
rasanya aku berdalih agar bapak tak usah ikut ke warnet, namun aku tak sanggup
menolak keinginan beliau.
***
“Kenapa loadingnya lama sekali Nur? Sudah hampir
lima belas menit kita menunggu. Apa sistem informasi akademik kampusmu lagi
rusak?”
Maafkan aku pak,
aku memang belum memasukkan alamat email dan nomor indukku. Sungguh maafkan aku
pak, jika nanti melukai hatimu. Aku takut banyak nilai C atau D yang
menertawaiku. Perang batinku terus berkecamuk, tak sepatah katapun aku ucapkan.
Aku tak berani menjawab pertanyaan bapak.
Ya Allah
tolonglah hamba, haruskah aku berbohong pada bapak sehingga aku tak perlu
menunjukkan nilaiku saat ini? Sungguh aku belum siap jika nanti hasilnya mengecewakan.
Ku tarik napas, dalam. Perlahan kurangkai kata.
“Apa bapak akan
marah jika nilaiku jelek?” Bapak terdiam sebentar.
“Bapak tidak
akan marah, jika memang kemampuanmu cuma segitu mau gimana lagi?”
Tak berani aku
menatap wajahnya, namun aku bisa merasakan nada kecewa andai hal itu benar
terjadi.
Bismillah.
Klik!
MasyaAllah! Aku
ingin menangis, aku ingin berteriak, aku ingin berlutut dan mencium tangan
bapak. Kau lihat teman, nilai C dan D tertawa mengejek kepadaku tega sekali
mereka tertawa di atas penderitaanku. Ah, tak pantas aku menyalahkan mereka
karena akulah yang membuat mereka mampir di transkrip nilaiku.
Ku pandangi
semua nilai di transkripku, layar komputer terlihat mendung seolah mengerti
kesedihanku. Tak sepatah katapun keluar dari mulut bapak. Beliau pasti sangat
kecewa, ku lihat kepala beliau mendekat ke monitor seolah tak percaya dengan
apa yang dilihatnya. Anak kesayangannya hanya mendapat IP (Indeks Prestasi)
2,36.
MasyaAllah! Tega
sekali aku melukai bapakku. Biaya kuliah tak murah tapi aku malah
menyia-nyiakannya. Bayangkan teman! Apa yang akan kau lakukan dengan IP 2,36?
Kau menyaksikannya dengan bapakmu, orang yang membiayai kuliahmu. Andaikan aku
jadi bapak mungkin akan ku tampar wajah anakku itu. Tapi sungguh bapak adalah
orang yang penyabar.
Dua koma tiga
enam. Sungguh jauh dari kata berhasil, ini IP terendahku selama aku kuliah. Aku
memang pernah mendapat nilai jelek sebelumnya, tapi nilaiku kali ini
benar-benar tamparan bagiku. Dua koma tiga enam adalah nilai yang bahaya. Hanya
20 SKS saja yang bisa kuambil, tak lebih. Maafkan aku bapak.
Sesampainya di
rumah, bapak hanya diam. Tak sepatah katapun keluar dari bibirnya.
“Bapak
kecewa padaku?”
Tak ada jawaban. Aku tak berani menatap wajahnya.
“Hentikan semua aktivitasmu di organisasi,
fokus pada kuliahmu.” Kalimat beliau datar tapi bagai sambaran kilat di
telingaku. Sungguh, aku tak bisa meninggalkan aktivitasku, aku tak mau keluar
dari organisasiku. Ia sudah seperti nafasku. Kegagalanku bukan karena aktivitas
organisasi tapi karena kemalasan yang kubuat sendiri.
“Tidak Pak, aku tidak bisa meninggalkan
organisasiku. Lagipula organisasi dan aktivitasku di luar kuliah sangat
menunjang profesiku sebagai guru jika aku lulus nanti. Ijinkan aku tetap di
sana Pak? Aku berjanji akan memperbaiki semuanya, akan kubuktikan bahwa
organisasi bukanlah penghambat untuk tetap berprestasi. Beri aku kesempatan
lagi Pak.” Aku menangis, menghiba.
“Mohon, ijinkan aku memperbaikinya tanpa harus
meninggalkan aktivitasku.” Bapak masih diam, lalu memandangku. Kemudian
tertunduk.
“ Baiklah.”
***
Libur telah usai, kembali ku hirup udara
kampus. Lebih dari dua minggu aku meninggalkannya. Dua koma tiga enam,
angka-angka itu masih tertawa mengejek. Ah, lihat saja nanti.
Meski masih terasa penat, kucoba tuk rapikan
kamar. Berharap mendapatkan kembali semangat belajar yang sempat redup. Takkan
ada lagi pemakluman untuk sebuah kemalasan. Tahun ini harus lebih baik!
Aku ingat sebuah petuah Man jadda wa jada! Aku harus merubah cara belajarku, lalu ku atur
strategi belajar yang jitu.
Pintu kamar ku buka lebar-lebar, mengajak diskusi
teman-teman kos yang sejurusan, saling tukar pikiran, latihan soal, menuliskan
rumus, menghafal proses, membuat catatan kecil, mengulang materi kuliah, selalu
memanfaatkan waktu untuk membaca sampai ke kamar mandipun membawa catatan kecil
untuk dihafalkan. Tak peduli, yang penting kali ini harus sukses. Atur waktu
dengan baik, belajar rutin, ibadah rajin, organisasi diperhatiin, lampu kamar
tidak lupa dimatiin dan akhirnya bebas dari tekanan batin.
Singkat cerita. Ujian semester enam
berakhir. Tibalah detik yang mendebarkan. Berharap tak ada lagi nilai C dan D
yang menertawaiku.
Aku sudah sampai di rumah, menanti pagi.
Yudisium, hasil ujian akan segera ditayangkan. Biasanya banyak mahasiswa
mengantri di warnet atau online di
sekitar kampus untuk menyaksikan film prestasi mereka ditayangkan dalam sebuah
transkrip nilai. Hari ini terasa begitu tegang. Aku tahu teman, Allah itu Maha
Adil. Man jadda wa jada.
Aku tak perlu mengantri di warnet. Aku masih
belum berani. Aku ingin memastikan dulu nilaiku baik, baru akan kutunjukkan
pada bapak. Tak ingin lagi kumelihat gurat kecewa di wajahnya. Aku buka
ponselku, ku ketik kode dari kampusku lalu ku masukkan nomor indukku. Segera
kukirimkan pada nomor sistem akademik dan tit…tit…tiiit. Pesan dari kampus. Bismillah.
Aku tak kuat melihatnya. Tubuhku limbung,
kusungkurkan kepalaku di tanah, kubiarkan hujan turun dari mataku. Kucium tanah
berulangkali.
“ Mba Nur ngapain? Ko tanah diciumi?”
Aku bangkit dari sujudku. “ Gak kenapa-napa Dik,
mba lagi latihan akting he…he…he…”
Mungkin adikku heran melihatku menciumi
tanah, maklum dia tidak mengerti kalau aku sedang sujud syukur.
Tahukah teman, berapa IP ku kali ini? Tak
banyak memang. Tapi cukup membuatku tersenyum lebar. Tiga koma delapan belas.
Lumayan untuk mata kuliah sains biologi. Tak ada nilai C dan D lagi yang
tertawa mengejekku. Terima kasih Allah. Dan di semester yang terakhir Allah memberi IP mumtaz 4,00. Klik!!!
Itulah kisahku teman. Tak perlu menunggu gagal jika ingin meraih
kesuksesan. Tak perlu menunggu teguran dari Allah untuk bangkit dari kemalasan.
Jangan berhenti pada nilai A saja jika kau masih mampu mendapatkan nilai A++.
Semangat berusaha. Manjadda wa jada! Tersenyumlah dan Jangan Bosan ^_^